Friday, January 28, 2011

Dunia Ini Ibarat Penjara Bagi Mukmin...

Inilah sebuah kisah yang sangat menarik yang dikisahkan oleh Al-'Allamah Syeikh Muhammad Shalih Al-'Utsaimin(rhm) dalam kitabnya Tafsir Juz 'Amma.

  
Kata Ibnu 'Utsaimin(rhm) :


"Para ulama menukil dari Ibnu Hajar Al-'Asqalani yang menulis syarh kitab Sahih Al-Bukhari yang diberinya nama Fathul Baari, dan pernah menjawat kedudukan sebagai Qadhi al-Qudhat(hakim tertinggi) di Mesir, bahawa pada suatu hari beliau(Ibnu Hajar) berjalan dengan gerobak yang ditarik oleh seekor keledai sementara orang-orang berkerumun mengelilinginya. Saat itu beliau melewati seorang Yahudi penjual minyak samin dan zaitun, dan biasanya penjual minyak samin pakaiannya selalu kotor dan keadaannya teruk. Tiba-tiba si Yahudi tersebut memberhentikan gerobak milik Ibnu Hajar dan berkata : "Sesungguhnya Nabi kalian bersabda : "Dunia ini ibarat penjara bagi orang mukmin dan Jannah bagi orang kafir" (H/R Muslim)


Lalu bagaimana dengan keadaanku yang sangat teruk ini sementara keadaanmu begitu baik?"



Maka Ibnu Hajar menjawab perkataannya : "Aku memang berada dalam penjara yang sempit bila dibandingkan dengan apa-apa yang telah Allah siapkan berupa pahala dan kenikmatan bagi para hamba-Nya yang beriman, di alam kehidupan akhirat kelak. Sebab dunia ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : "Tempat cemeti seseorang di Jannah nanti lebih baik dibandingkan dunia seisinya"

Dan engkau wahai Yahudi! Engkau seolah berada di dalam Jannah jika dibandingkan dengan azab yang kelak akan engkau terima apabila engkau mati dalam keadaan kafir!"

 

Akhirnya orang Yahudi itu merasa puas dengan jawaban Ibnu Hajar dan menjadi penyebab ia masuk Islam, dan akhirnya Yahudi itu berkata : "Aku bersaksi tiada Rabb yang haq yang disembah selain Allah dan bahawa Muhammad adalah utusan Allah".

Alhamdulillah. Dengan nikmat dan kurniaan-Nya segala kebaikan itu menjadi sempurna..
[Rujuk : Tafsir Juz 'Amma li Ibnu 'Utsaimin(rhm) – Tafsir Surah Al-Lail]

Wednesday, January 26, 2011

"Zarah" : Antara Pengertian Dalam Al-Qur'an dan Lembaran Dari Buku Sains

Ketika membaca Kitabullah kita seringkali berjumpa dengan kalimah "dzarrah". Persoalannya apakah ia bermakna 'zarah' yang disebut di dalam buku-buku Sains ketika membahaskan teori atom?


 Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar al Asqalani (rhm) : "Dzarrah adalah suatu partikel terkecil dari benda yang ada, Ada yang mengatakan dzarrah ertinya debu yang tampak pada cahaya matahari, yang terlihat seperti hujung-hujung jarum. Ada pula yang mengatakan dzarrah ertinya semut kecil.

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Abbas radiyallahu 'anhuma, bahawa ia berkata : "Jika engkau meletakkan tangan ke tanah kemudian engkau menghembuskannya, maka debu yang bertebaran itulah yang disebut dzarrah".

Ada pula yang mengatakan : "Empat dzarrah setara dengan satu khardal(biji sawi)"

Di akhir Kitab "at-Tauhid", Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadith dari Anas secara marfu' dengan lafaz : "Akan dimasukkan ke dalam Syurga orang yang di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar khardal(biji sawi). Kemudian juga orang yang di dalam  hatinya terdapat keimanan yang lebih kecil daripada itu."

Demikian penjelasan tentang makna dzarrah."
[Ruj : Fathul Baari - Bab 33 : Bertambah dan Berkurangnya Iman]

Firman Allah SWT : "Barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah pun, nescaya  dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun nescaya dia akan melihat (balasan)nya pula" [Surah az-Zalzalah : 7-8]

Kata Syeikh Ibnu 'Utsaimin (rhm) : "Dan yang dimaksudkan dengan dzarrah adalah seekor semut kecil yang sudah dimaklumi. Jadi dzarrah itu bukanlah atom sebagaimana yang dikatakan orang-orang sekarang, kerana pada saat itu atom belum dikenal. Allah Azza wa Jalla tidak berfirman pada satu kaum kecuali dengan bahasa yang mereka fahami. Dan penyebutan dzarrah di sini [surah az-Zalzalah : 7-8] adalah sebagai ungkapan bagi sesuatu yang paling kecil. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : "Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah nescaya Allah akan melipatgandanya."[ Surah an-Nisaa' : 40]

[ruj : Tafsir Juz 'Amma - Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]

Al-Imam Ibnu Katsir(rhm) dalam Tafsir-nya mengatakan dzarrah itu maknanya semut yang kecil manakala Dr Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir memilih makna dzarrah sebagai semut yang kecil atau debu yang hanya boleh dilihat di bawah sinaran matahari sebagaimana disebutkan dalam Fathul Baari.


Justeru, apakah jika sesuatu amalan itu lebih kecil dari semut yang kecil maka ia tidak dihitung? Bahkan, ia akan dihitung dan diperlihatkan balasan untuknya kelak. Penyebutan semut yang kecil adalah untuk menunjukkan sesuatu yang sangat kecil  sebagaimana yang dimaklumi pada zaman penurunan wahyu.

Kerana itulah Syeikh Ibnu Utsaimin mengatakan selepas menjelaskan makna dzarrah dalam surah az-Zalzalah di atas sebagai : "Dan tentunya sudah satu hal yang dimaklumi bahawa suatu amalan walaupun lebih kecil dari semut pasti akan terlihat(kelak). Oleh kerana itulah Allah memakai ungkapan dzarrah sebagai pengungkapan sesuatu yang terkecil"

Kesimpulannya : Dzarrah yang disebut di dalam Al-Qur'an bukanlah zarah yang dikenal di dalam lembaran buku-buku Sains.

Monday, January 24, 2011

Keutamaan Kitab Salaf...


Kata Al-Imam Ibnu Jauzi Al-Baghdadi(rhm) dalam kitabnya yang terkenal - Shaidul Khatir :

"Keinginan dan cita-cita ulama terdahulu(salaf) sangatlah tinggi dan kuat. Buktinya buku-buku mereka merupakan saripati dari kehidupan mereka…..

Jalan utama bagi orang yang menginginkan kesempurnaan dalam menuntut ilmu ádalah membaca buku peninggalan orang-orang terdahulu(salaf) sebanyak-banyaknya. Saat membaca, ia akan mengenal banyak ilmu dan terbukalah cakrawala pemikirannya. Di samping itu ia mengetahui betapa tinggi semangat kaum terdahulu(salaf). Dengan demikian ia menjadi tergerak dan muncul semangatnya untuk melakukan sesuatu dengan serius. Perlu diketahui bahawa tidak ada satu kitab(salaf) pun yang tidak mengandungi faedah….."

Kata Al-Imam Ibnu Jauzi Al-Baghdadi(rhm) lagi :

"Aku berlindung dari cara hidup manusia zaman sekarang. Kita tidak melihat mereka memiliki keinginan kuat yang dapat dicontohi oleh orang yang baru belajar, tidak juga orang wara' yang dapat diteladani oleh orang zuhud. Oleh kerana itu, wajib bagi anda untuk melihat dengan saksama perjalanan ulama salaf, membaca karya-karya mereka dan riwayat hidup mereka. Dengan banyak membaca karya mereka sama ertinya dengan kita melihat mereka sebagaimana perkataan seorang penyair :

"Tak sempat kulihat negeri-negeri itu dengan mataku
Kuharap dapat melihat negeri-negeri itu dengan telingaku"


Aku akan bercerita tentang diriku. Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika aku melihat satu buku yang belum pernah aku sentuh, aku seperti melihat satu harta karun yang tidak ternilai harganya. Aku pernah melihat buku-buku di Madrasah Nizhamiyyah. Di situ terdapat sekitar 6000 jilid buku. Aku juga melihat kumpulan buku Abu Hanifah dan Humaidi, kitab-kitab guruku Abdul Wahab bin Nashir, kitab-kitab Muhammad bin Khasyyab yang jumlahnya banyak sekali, dan berbagai kitab lainnya yang sangat ingin aku baca. Aku membaca 20,000 jilid buku atau lebih, tapi(sebenarnya) aku membaca lebih dari yang aku sebutkan. Aku mengambil pelajaran dari buku-buku itu tentang perjalanan hidup mereka, semangat mereka, hafalan mereka, ibadah mereka, dan ilmu-ilmu mereka yang luas,yang menurutku tidak mungkin diketahui kecuali oleh mereka yang telah membaca dengan saksama. Aku ingin mengikuti jejak mereka dan merasa resah dengan semangat penuntut ilmu yang ada saat ini.."..[ rujuk : Al-Imam Ibnu Jauzi Al-Baghdadi – Shaidul Khatir]

Kata Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah :

"Sesiapa yang Allah SWT kurniakan cahaya kepada hatinya, Dia akan memberi hidayah melalui karangan-karangan yang sampai kepadanya. Dan sesiapa yang dibutakan mata hatinya, maka lambakan buku-buku hanyalah menambahkan kebingungan dan kesesatannya"
[Majmu' Fatawa 10/665]


"Ya Allah, Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima."(H/R Ibnu Majah)

Berkata Al-Hafiz Az-Dzahabi : "Kita memohon daripada Allah ilmu yang bermanfaat. Tahukah anda apa itu ilmu yang bermanfaat? Ia apa yang dinyatakan al-Quran dan ditafsirkannya oleh Rasulullah SAW secara perkataan dan perbuatan." [ruj : Siyar 'Alam al-Nubala' li Az-Dzahabi]

Saturday, January 22, 2011

Episod Menakjubkan A'immah Salaf [EMAS]- Siri 1

Perjalanan Satu Bulan Jabir bin Abdillah r.a Mencari Satu Hadith

Imam Abu Abdillah Al-Bukhari berkata di dalam Sahihnya , kitab Al-'Ilm, Bab Al-Khuruj fi Thalabil 'Ilm : "Jabir bin Abdillah melakukan perjalanan selama satu bulan untuk menemui Abdullah bin Unais demi mendapatkan satu hadith."

Berkata Al-'Allamah Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah : "Ucapan Al-Bukhari ini mengisyaratkan kepada hadith yang ia riwayatkan di dalam kitabnya Al-Adabul Mufrad, bab Al-Mu'anaqah dari jalan Abdullah bin Muhammad bin Aqil, bahawa ia mendengar Jabir bin Abdillah berkata : "Aku mendengar seorang lelaki sahabat Nabi SAW memiliki sebuah hadith. Lelaki tersebut mendengarnya dari Nabi SAW. Maka aku membeli seekor unta dan aku bersiap diri untuk melakukan perjalanan. Aku berangkat untuk menemuinya selama satu bulan, sehingga aku tiba di Syam –dan lelaki tersebut adalah Abdullah bin Unais. Maka aku berkata kepada penjaga pintunya : "Katakan kepadanya bahawa Jabir sedang berada di depan pintu. Dia bertanya : Ibnu Abdillah?. Aku menjawab : Ya

Lalu Abdullah bin Unais keluar dan dia memelukku. Aku berkata : Aku mendengar engkau memiliki sebuah hadith dan engkau telah mendengarnya dari Rasulullah SAW. Aku khawatir diriku nanti mati, atau engkau yang mati sebelum aku mendengarnya. Dia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : "Allah mengumpulkan manusia pada hari kiamat dalam keadaan telanjang, belum dikhitan dan buhm. Para sahabat bertanya : Apa itu buhm? Baginda SAW menjawab : Tidak memiliki apa pun...."
[Kemudian Abdullah bin Unais menyambung dengan matan hadith seterusnya ]


Al-Hafiz Khatib Al-Baghdadi memaparkan kisah Jabir ini di dalam kitabnya Ar-Rihlah fi Thalabil Hadith dari banyak jalan. Dia juga meriwayatkan kisah lain dari para sahabat yang melakukan perjalanan demi mencari hadith. Kitab Ar-Rihlah itu sendiri merupakan kitab yang bermanfaat, dan menjadi pendorong bagi orang-orang yang bermalas-malasan melakukan perjalanan demi mencari ilmu. Bacalah, semoga anda tergugah!

Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-'Asqalani berkata di dalam Fathul Bari – setelah menyebutkan hadith Jabir tersebut tentang perjalanan yang dilakukannya kepada Abdullah bin Unais. Beliau (Ibnu Hajar) berkata : Hadith ini menunjukkan kebiasaan para sahabat iaitu bersemangat mencari sunnah-sunnah Nabi

[Rujuk : Safahat min Sabr 'Ulama li Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah].

Sunday, January 16, 2011

Syarh 'Aqidah at-Thahawiyah - Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi

Kata Al-Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi : "Kalam para Ulama Salaf dalam menetapkan sifat al-'uluw(tinggi) Allah sangatlah banyak. Maka darinya apa yang diriwayatkan oleh Syeikhul Islam Abu Isma'il Al-Anshari dalam bukunya Al-Faruq dengan jalur sanadnya sendiri kepada Al-Muthi' Al-Balkhi, bahawasanya beliau pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang mengatakan : "Aku tidak tahu apakah Rabb-ku di langit atau di bumi?". Beliau (Abu Hanifah) menyatakan : "Orang itu kafir". Kerana Allah berfirman : " Ar-Rahman yang bersemayam di atas 'Arsy" (Thaha : 5).

'Arsy Allah itu berada di atas tujuh langit. "Aku bertanya : "Bagaimana jika dia mengatakan bahawa Allah di atas 'Arsy, tetapi dia juga berkata : "Aku tidak tahu apakah 'Arsy itu berada di langit atau di bumi". Beliau (Abu Hanifah) menjawab : "Dia kafir kerana dia mengingkari bahawa Allah itu di langit. Orang yang mengingkari Allah itu di atas langit, bererti dia kafir". Ada perawi yang menambahkan bahawa beliau berkata : "Kerana Allah itu ada di atas "Illiyyin" dan Allah itulah yang dijadikan tujuan berdoa, dan Dia di atas dan bukan di bawah".

Kata Ibnu Abi al-Izz lagi : "Kita juga tidak perlu memperdulikan orang yang mengingkari hal itu, iaitu mereka yang menisbahkan diri kepada mazhab Abu Hanifah [padahal yang demikian itu bukanlah mazhab beliau], kerana sebahagian kelompok Mu'tazilah dan lain-lainnya menisbahkan diri kepada mazhab beliau, padahal 'aqidah mereka berseberangan dengan 'aqidah beliau rahimahullah Ta'ala dalam banyak persoalan i'tiqaadnya. Dan telah menisbahkan kepada Malik, Syafi'i dan Ahmad, orang-orang yang menyelisihi mereka dalam sebahagian i'tiqaad mereka."

[rujuk : Syarh 'Aqidah at-Thahawiyah edisi tahqiq Syeikh Syua'ib Al Arnau'th dan Dr. 'Abdullah bin 'Abdul Muhsin at-Turki, cet. Muassasah ar-Risalah, thn. 2008, hlm.279, bagi edisi yang ditahqiq Syeikh Al Albani, cet. Al-Maktab al-Islami, thn. 2006, rujuk hlm. 200 ]

Saturday, January 8, 2011

Mukhtashar al-'Uluw


Disebutkan Al-Hafizh az-Dzahabi di dalam kitabnya al-'Uluw : Diriwayatkan oleh Syaikh al-Islam Abu al-Hasan al-Hakari dan al-Hafizh Abu Muhammad al-Maqdisi melalui isnad mereka yang sampai kepada Abu Tsaur dan Abi Syu'aib, keduanya dari Al-Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi'i seorang pembela hadith rahimahullah, ia berkata :

 "Pendapatku tentang sunnah di mana aku berpegang kepadanya, dan juga berpegang kepadanya orang-orang yang aku lihat semisal Sufyan, Malik dan selain keduanya, iaitu pengakuan terhadap persaksian bahawa tiada Ilah ( yang berhak diibadahi) selain Allah dan bahawa Muhammad itu Rasulullah, dan bahawa Allah itu di atas 'Arsy-Nya yang ada di langit-Nya. Dia mendekat kepada makhluk-Nya menurut apa yang Dia kehendaki dan turun ke langit dunia menurut apa yang Dia kehendaki."... Lalu disebutkan seluruh i'tiqad ('aqidah dan keyakinan lainnya)

[Ruj : Mukhtashar al-'Uluw, hlm. 176, Al-Maktab al-Islami, cetakan ke-2]

Di antara hadith-hadith yang menjelaskan ketinggian Allah SWT di atas makhluk-Nya ialah hadith yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah bin al-Hakam as-Sulami r.a.

Kata Mu'awiyah bin al-Hakam as-Sulami r.a  :"Aku memiliki seorang budak wanita yang mengembalakan kambing-kambing milikku di sekitar kawasan Uhud dan Al-Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku melihat ada seekor serigala pergi dengan membawa salah seekor kambing gembalaannya. Sementara aku sendiri adalah seorang anak keturunan Adam yang sangat marah menyaksikan kejadian itu sebagaimana kebanyakkan orang lain yang juga akan marah ( sekiranya mengalami hal yang sama). Maka aku pun menempeleng budak wanita tersebut. Setelah itu aku datang kepada Rasulullah SAW(untuk memberitahukan kejadian tersebut). Ternyata Baginda menganggapku sudah melakukan sesuatu yang keterlaluan. Maka aku berkata : "Wahai Rasulullah, apakah aku memerdekakannya saja?" Rasulullah bersabda : "Bawalah dia menghadap ke hadapanku". Maka aku pun membawa budak wanita itu untuk menghadap Rasulullah. Lalu Baginda bertanya kepadanya :"Di manakah Allah?" Budak wanita itu berkata : "Di langit". Rasulullah kembali bertanya : "Siapakah aku?" Budak wanita itu menjawab : "Anda adalah Rasulullah". Rasulullah bersabda : "Merdekakanlah dia! Kerana sesungguhnya dia adalah orang yang beriman".

Setelah mengemukakan hadith ini, Al-Hafizh adz-Dzahabi berkomentar : "Hadith ini sahih dikeluarkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, an-Nasa'i serta tidak hanya satu orang dari kalangan imam yang memuatkannya di dalam karya-karya mereka. Semuanya memberlakukannya sebagaimana datangnya, tidak ada yang cuba-cuba melakukan ta'wil dan tahrif".

Kata adz-Dzahabi lagi : "Demikianlah kami melihat, bahawa setiap orang yang ditanya 'di mana Allah' secara spontan fitrahnya akan mengatakan : 'Di langit'.

Maka dalam khabar ini ada dua masalah :

Pertama : Disyari'atkan untuk bertanya kepada seorang Muslim : "Di mana Allah?"
Kedua : Jawaban yang ditanya : "Di langit".

Maka siapa yang memungkiri dua masalah ini, bererti ia memungkiri Mushtafa( Nabi SAW)" -  tamat perkataan adz-Dzahabi - [ruj: Mukhtashar al-'Uluw, hlm. 81]

Di dalam kitab Al-Asma' wa ash-Shifat, al-Imam al-Baihaqi berkata : "Penyebutan dalil-dalil yang menerangkan istiwa'nya Allah Tabaraka wa Ta'ala di atas 'Arsy-Nya, dan juga atsar-atsar yang berasal dari kalangan salaf yang memiliki pengertian seperti ini cukup banyak jumlahnya, dan jalan ini menunjukkan kepada mazhab Asy Syafi'i.

Antara atsar yang berasal dari kalangan salaf dalam masalah ini ialah apa yang diriwiyatkan dari Ibnu Mas'ud r.a, ia berkata :

"Arsy itu di atas air, dan Allah di atas 'Arsy, tidak tersembunyi suatu apapun atas-Nya dari perbuatan-perbuatanmu"

[Atsar ini diriwayatkan oleh Abdullah bin al-Imam Ahmad dalam As-Sunnah-nya, Abu Bakar bin Mundzir, Abu Ahmad Al Assal, Abul Qasim ath-Thabrani, Abu Syaikh, Abul Qasim Al-Lalaka'i, Abu Umar ath-Thalamanki, Abu Bakar Al Baihaqi dan Abu Umar bin Abdil Bar dalam karangan-karangan mereka. Kata adz-Dzahabi : "Dan isnadnya sahih", disepakati oleh Syeikh Al Albani dengan tambahan-tambahan rujukan dalam Mukhtashar al-'Uluw, hlm. 103-104]

Adapun atsar dari Tab'in antaranya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Shadqah dari Sulaiman at-Taimi.

Kata Shadqah : "Aku mendengar Sulaiman at-Taimi berkata : "Seandainya aku ditanya, di manakah Allah ? Aku pasti menjawab : "di langit".

Sulaiman termasuk Imam penduduk Basrah dalam ilmu pengetahuan dan pengamalan.
[ruj : Mukhtashar al-'Uluw, hlm. 133]